Worldcoin Dilarang di Indonesia: Regulasi Digital dan Data Biometrik dalam Sorotan

Sam Altman Worldcoin

Ketika startup ambisius bernama World—dulu dikenal sebagai Worldcoin—meluncur dengan janji menyederhanakan identitas digital global menggunakan pemindaian bola mata dan token kripto sebagai imbalan, dunia sempat terpukau. Tapi bagi regulator Indonesia, janji teknologi itu belum cukup untuk menggantikan pentingnya kepatuhan hukum.

Dalam pernyataan mengejutkan yang dikeluarkan minggu ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia resmi menangguhkan aktivitas World di Tanah Air. Alasannya? Dugaan pelanggaran serius terhadap peraturan sistem elektronik yang berlaku di Indonesia. Penyelidikan pun dibuka terhadap dua badan hukum lokal yang terkait: PT Terang Bulan Abadi dan PT Sandina Abadi Nusantara.



Ada aktivitas mencurigakan,” tegas Alexander Sabar, Dirjen Pengawasan Ruang Digital. Menurutnya, ini bukan tentang memperlambat inovasi, melainkan tindakan preventif untuk mencegah risiko digital yang berpotensi berdampak besar pada masyarakat.

Masalah Pendaftaran dan Identitas Badan Hukum

Salah satu poin paling disorot dari penangguhan ini adalah dugaan penggunaan Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) milik badan hukum lain untuk menyelenggarakan layanan World di Indonesia. Dalam regulasi lokal, semua penyelenggara sistem digital wajib memiliki TDPSE sendiri—tanpa pengecualian.

Namun, dokumen dan laporan yang beredar menunjukkan World kemungkinan menggunakan lisensi PT Sandina Abadi Nusantara, bukan PT Terang Bulan Abadi, yang diduga sebagai pengelola operasional aslinya. Tindakan ini, meskipun belum terbukti secara hukum, telah cukup untuk mengundang sorotan tajam dari pemerintah.

Ini pelanggaran yang tidak bisa dianggap ringan,” ujar Sabar. Ia mengimbau masyarakat untuk ikut menjaga ekosistem digital yang aman dan transparan.

Bukan Pertama Kalinya World Ditekan Regulator

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menyatakan kekhawatiran terhadap model bisnis World.

Brasil sudah lebih dulu menarik rem darurat. Pada Januari lalu, otoritas perlindungan data Brasil menyatakan bahwa skema kompensasi WLD yang ditawarkan oleh World dapat “memengaruhi perilaku konsumen secara tidak adil”. Beberapa minggu sebelumnya, Jerman memaksa World untuk merevisi protokol penghapusan datanya agar sesuai dengan GDPR—regulasi data yang sangat ketat di Uni Eropa.

Kenya bahkan sempat melabeli proyek itu sebagai “sekelompok penjahat,” sebelum akhirnya mencabut larangan operasional setelah hampir setahun. Sebuah kisah yang bukan hanya memperlihatkan tantangan hukum, tetapi juga bagaimana persepsi publik dan etika pengumpulan data menjadi sorotan utama.

Proyek Ambisius di Tengah Keraguan Global

World sendiri bukan proyek kecil-kecilan. Di baliknya ada nama besar seperti Sam Altman, CEO OpenAI, yang mempopulerkan ChatGPT. Dengan perangkat pemindai biometrik bernama Orb, pengguna di seluruh dunia diajak untuk menukarkan data iris mata mereka dengan token kripto, WLD.

Sebagian menyebutnya revolusioner. Yang lain menyebutnya distopia.

Dan di tengah perdebatan etika itu, pertanyaan yang lebih praktis muncul: bagaimana sebenarnya keamanan data yang dikumpulkan? Apakah data iris benar-benar dihapus, atau masih tersimpan dalam sistem untuk tujuan yang belum dijelaskan secara transparan?

Dalam investigasi kami sebelumnya di coinbiograph.com, terungkap bahwa meskipun World mengklaim tidak menyimpan data biometrik mentah, proses verifikasi dan struktur penyimpanan hash iris tetap menimbulkan kekhawatiran di kalangan pakar keamanan siber.

“Orang-orang tidak menyadari nilai data biometrik mereka sampai data itu bocor,” ujar Ardi Firmansyah, peneliti privasi digital di Universitas Indonesia. “Sekali hilang, Anda tidak bisa ganti mata seperti ganti password.”

Potensi Hilangnya Akses Pasar Besar

Penangguhan di Indonesia adalah pukulan berat. Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, dan penetrasi internet yang semakin merata, Indonesia adalah salah satu pasar berkembang terbesar untuk proyek Web3 dan digital ID. Kehilangan pijakan di sini bukan hanya masalah operasional, tapi juga reputasi global.

Ironisnya, saat aksesnya tertutup di Asia Tenggara, World justru mengembangkan cakupannya ke Amerika Serikat. Enam kota besar—termasuk Atlanta, Miami, dan San Francisco—baru saja meluncurkan layanan pemindaian World Orb. Ini merupakan pertama kalinya warga AS secara legal dapat menerima token WLD mereka, setelah sebelumnya dibatasi oleh regulasi SEC.

Tak hanya itu, integrasi dengan ekosistem seperti Match Group (pemilik Tinder), Kalshi (pasar prediksi), dan bahkan Visa, menunjukkan bahwa World sedang membangun jaringan identitas digital yang bisa digunakan di berbagai aplikasi.

Tapi… apakah itu cukup untuk membungkam kritik terhadap metode mereka?

Pelajaran Bagi Proyek Web3 Lain

Apa yang menimpa World seharusnya menjadi pengingat kuat bagi semua proyek blockchain dan Web3 yang mencoba masuk ke pasar Indonesia dan negara berkembang lainnya. Kepatuhan bukan sekadar formalitas. Ini fondasi kepercayaan publik.

Startup boleh saja menawarkan teknologi futuristik. Tapi kalau tidak bisa menjelaskan legalitasnya dengan sederhana, atau mengelola data pengguna dengan transparan, kepercayaan masyarakat akan cepat menguap.

Kami di coinbiograph.com akan terus memantau bagaimana perkembangan kasus ini. Dunia digital mungkin berubah cepat, tapi aturan mainnya tetaplah perlu dihormati.


Editor: Cyro Ilan

Join Telegram Community

Disclaimer:

"Informasi di Coinbiograph hanya sebagai referensi, bukan saran investasi. Artikel ini tidak mendukung pembelian atau penjualan kripto tertentu.

Perdagangan keuangan, termasuk cryptocurrency, selalu berisiko. Risetlah sebelum berinvestasi. Keputusan ada pada Anda.

Gunakan platform resmi yang legal, terutama di Indonesia. Pilih platform kripto yang terdaftar oleh BAPPEBTI dan OJK dan daftar aset kripto resmi di Indonesia dan legal"

Share:

Also Read